
Buat kamu yang sedang berjuang untuk mencapai cita-cita bersekolah ke luar negeri dengan beasiswa, pastinya IELTS bukan nama yang asing lagi. Tentunya kamu juga tau perjuangan meraih skor IELTS yang dibutuhkan untuk bisa mendaftar beasiswa atau program di kampus tujuan bukanlah jalan yang mudah bagi banyak orang. Bahkan, tak sedikit yang merogoh saku hingga puluhan juta untuk ikut bimbingan persiapan IELTS. Belum lagi yang harus tes berulang kali namun tak juga berhasil memperoleh hasil yang mumpuni.
Ceritaku sedikit berbeda. Di akhir tahun 2014, aku dinyatakan lulus seleksi batch terakhir beasiswa LPDP. Kala itu, pendaftar jalur reguler masih dibolehkan menggunakan skor TOEFL ITP untuk mendaftar program luar negeri. Aku pun tak pikir panjang memutuskan untuk menunda tes IELTS dan mengunggah skor TOEFL terakhirku yang alhamdulillah masih berlaku waktu itu. Di tahap wawancara aku sempat ‘ditegur’ karena berani-beraninya cuma bawa hasil tes TOEFL untuk mendaftar program luar negeri. Namun dengan tenang aku jawab, “Niat saya memang dapat beasiswa dulu, Pak. Kalau lolos baru saya tes IELTS, karena biaya tesnya lumayan mahal.”
Pewawancara yang menanyaiku kelihatan kurang terkesan dengan jawabanku, namun aku tak masukkan ke hati. Beliau mungkin nggak paham situasiku yang waktu itu harus ngajar di tiga tempat berbeda dari Senin sampai Sabtu, berangkat pagi pulang malam, cuma untuk memenuhi kebutuhan hidupku di Medan. Namun aku tetap berusaha meyakinkan. “Kalau saya lolos, Pak, saya janji akan segera tes IELTS,” tambahku.
Sesuai janjiku, begitu dapat kabar aku lulus seleksi, aku langsung cari informasi tes IELTS di Medan. Aku sempat bertanya ke temanku yang waktu itu juga lulus di batch yang sama, dan sudah duluan tes IELTS. Waktu itu, walau tak lagi asing dengan tes TOEFL (aku sudah beberapa kali tes TOEFL ITP dan pernah sekali tes TOEFL iBT), aku sama sekali buta mengenai IELTS. Aku cuma tau kalau IELTS itu tes mirip TOEFL versi British. Dari temanku, aku paham garis besar komponen tes IELTS dan memutuskan untuk mencari materi belajar sebelum mengikuti tes. Itu awal Januari 2015, dan aku mendaftar untuk tes di akhir bulan itu juga.
Ketika orang lain mempersiapkan diri minimal 3 bulan sebelum mendaftar tes yang ofisial, aku tak punya pilihan selain mendaftar sesegera mungkin. Targetku mulai studi S2 September 2015, dan kuputuskan paling lambat April aku harus sudah dapat LOA. Berhubung kampus tujuanku termasuk yang lumayan lama memproses berkas pendaftar, aku harus sudah mengirim semua berkasku di bulan Februari. Maka aku cuma punya waktu kurang dari sebulan untuk persiapan tes IELTS.
Waktu itu, opsi untuk mengikuti bimbingan persiapan IELTS sama sekali tak terbesit di pikiranku. Singkatnya, aku nggak punya cukup biaya untuk bayar guru. Untuk mendaftar tesnya saja aku harus minta bantuan orang tua, karena gajiku sebagai guru di Medan cuma cukup untuk bayar sewa kos-kosan dan kebutuhan dasar. Pilihanku cuma satu: belajar sendiri. Namun aku harus tau diri dan menerima fakta kalau aku juga nggak punya cukup waktu dan energi untuk belajar maksimal. Aku yang setiap hari berangkat ngajar jam 7.00 pagi dan pulang jam 10 malam cuma punya waktu senggang setiap hari Minggu. Namun aku tetap sisihkan sedikit waktu di sela-sela kelas untuk latihan menjawab soal Reading atau Listening. Aku cuma fokus ke dua skill itu, lagi-lagi karena waktu belajar yang minim dan dua skill itu yang bagiku lebih mudah untuk ditingkatkan dalam waktu seadanya. Untuk Writing, aku cuma pelajari garis besar instruksi dan jenis task-nya, bahkan tak sempat latihan menulis. Speaking aku sama sekali tak terpikir untuk belajar lagi.
Targetku realistis: dapat skor cukup untuk daftar ke kampus tujuan. Doaku selama persiapan tes cuma semoga aku nggak perlu tes ulang. Aku cukup optimis waktu itu. Bukannya mau sombong, namun sebagai guru bahasa Inggris yang juga pernah setengah tahun tinggal di US, aku merasa justru malu kalau hasil tesku jelek. Walau aku tau nggak sedikit orang yang sudah bolak balik ke luar negeri tapi harus kursus lagi sebelum tes IELTS. Di hari tes, alhamdulillah semua berjalan lancar, kecuali tes Speaking yang bisa dibilang ‘berakhir mendadak’. Tapi aku tak mau ambil pusing. Sudah kulakukan yang bisa kulakukan, pikirku, sekarang waktunya fokus ke depan.
Empat belas hari kemudian hasil tesku keluar. Alhamdulillah, doaku dikabulkan, aku nggak perlu tes ulang. Untuk bisa mendaftar ke program studi tujuanku, aku butuh skor overall 7.0 dengan skor Writing minimal 6.5. Skor IELTS-ku overall 7.5 dengan skor Writing yang sama. Aku cukup puas dengan skor Listening-ku (8.5), dan bersyukur menerima skor Reading dan Speaking-ku (keduanya 7.0), berhubung aku suka ‘zone out’ kalau membaca teks yang boring (and trust me, IELTS passages are the epitome of boring) dan mengingat aku bahkan tak mempersiapkan diri untuk Speaking.
Bulan-bulan berikutnya aku disibukkan dengan persiapan pendaftaran kampus, PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, dan persiapan mengurus Visa ke UK. Pengalaman IELTS-ku tak lagi kupikirkan, hingga suatu hari beberapa bulan setelah aku mulai studi di Edinburgh, seorang teman yang punya kursus bahasa Inggris memintaku mengajar IELTS ‘jarak jauh’. Berhubung perkuliahanku tak terlalu padat, aku punya cukup banyak waktu luang, maka permintaan temanku langsung kuiyakan. Sebelum mulai mengajar aku pun mencari informasi dan materi yang kubutuhkan untuk mengajar IELTS. Di situlah aku baru sadar, andai saja aku punya waktu lebih untuk mempersiapkan diri sebelum aku tes dulu, maka bukan tak mungkin skor yang kudapat jauh lebih tinggi.
Masih ingat tes Speaking-ku yang berakhir mendadak? Tes Speaking IELTS terdiri dari tiga bagian, dan di bagian ketiga kamu diminta menjawab sekitar 3–5 pertanyaan secara ‘panjang lebar’, lengkap dengan argumen dan support. Tapi aku yang waktu itu bahkan tak sempat mengecek format tes Speaking sama sekali nggak tau mengenai ini. Di awal, tes Speaking-ku berjalan lancar, aku dengan mudah bisa menjawab pertanyaan santai si pewawancara. Bahkan bagian kedua aku nggak terlalu kesulitan. Tapi bagian akhir tes, ketika si pewawancara menanyakan pendapatku, aku cuma menjawab dengan satu kalimat singkat. Barulah aku sadar kenapa raut muka beliau seolah berkata ‘tell me more’ ketika aku cuma menatapnya balik sambil mikir ‘what else do you want?’ Karena itulah si pewawancara langsung mengakhiri tesnya. Mungkin nggak berlebihan kalau aku beranggapan skor IELTS-ku waktu itu bisa di atas 8.0 kalau saja aku sempat latihan Speaking. Atau paling tidak, kalau aku paham aku harus ngapain aja di setiap bagian tesnya.
Tapi aku nggak mau terlalu berlarut-larut memikirkan itu. Toh targetku sudah tercapai, aku sudah diterima di kampus tujuanku dan mulai perkuliahan. Namun pengalaman itu mengajarkanku sesuatu. Dalam mempersiapkan diri untuk tes IELTS, dua hal ini adalah game changer yang sangat signifikan: latihan dan bimbingan.
Sebagai guru bahasa Inggris, aku paham betul tantangan yang dihadapi anak-anak Indonesia dalam belajar. Nggak sedikit juga orang dengan siatuasi yang sama denganku waktu itu: singkatnya, kemampuan finansial pas-pasan. Dan IELTS itu mahal, saudaraku. IELTS itu bukan sekedar tes profisiensi bahasa Inggris internasional, tapi juga bisnis multibillion dollar. Didesain sedemikian rupa agar bisa mengetes kemampuan orang dimanapun dan kapanpun dengan valitidas dan akurasi, tes ini diikuti jutaan orang di dunia setiap bulan. Cuma agar bisa mendaftar ke negara atau kampus impian. Bimbingan persiapan IELTS bisa dibilang level paling tinggi dari bisnis kursus bahasa Inggris (mungkin cuma selevel di bawah bimbingan menulis jurnal internasional). Untuk mendaftar program intensifnya, nggak jarang kamu harus bayar belasan atau bahkan puluhan juta untuk bimbingan 50 jam saja. Nuraniku sebagai guru miskin dari Medan merasa miris menyadari ini.
Disitu aku berniat dalam hati, kalau aku mengajar IELTS, maka aku nggak mau sekedar mengajar untuk cari uang. Aku ingin peserta kelasku belajar dengan ‘mata terbuka’. Bahwa benar IELTS itu sulit, tapi tak sesulit yang kamu kira. Benar IELTS itu penting, tapi cuma untuk sekedar membuka pintu saja. Aku ingin mereka merasa yakin dengan biaya minimal namun bimbingan yang mumpuni, mereka bisa mencapai targetnya. Walau tentu harus dibarengi dengan kerja keras dan konsistensi.
Sekarang, hampir lima tahun kemudian, aku sudah mengajar IELTS di berbagai mode. Sebagai guru di bimbingan bahasa Inggris iya, mengajar privat juga iya. Aku pernah diajak kerja sama dengan sistem bagi hasil, sambil membangun brand sendiri juga pelan-pelan aku cicil. Dari yang awalnya di-hire sebagai guru, hingga aku yang meng-hire guru. Sebagian muridku berhasil mencapai targetnya, tapi tak sedikit juga yang masih terus berjuang. Aku juga sebagai guru terus belajar, mencoba hal baru agar bisa lebih efektif membantu. Karena meski mungkin kamu cuma bayar aku untuk sekedar belajar IELTS, tapi aku ingin ngasih pembelajaran lebih dari itu.