Uncategorized

“Wah, ayah bundanya kuliah di luar negeri. Anaknya udah diajarin bahasa Inggris sejak bayi dong ya!”

Sering sekali aku dapat pernyataan atau pertanyaan yang maknanya kurang lebih sama dengan judul tulisan ini. Dan setiap kali aku menjawab “nggak, anakku nggak diajarin bahasa Inggris” atau “nggak, aku nggak ada niat mau nyekolahin anakku di TK internasional”, aku selalu dapat reaksi yang mirip.

Heran, kaget, bingung. Lalu ditanya, “loh, kenapa? takut speech delay?”

Dari situ aku menyimpulkan ternyata memang keyakinan “belajar bahasa Inggris semakin cepat semakin baik” itu benar-benar mendarah daging di masyarakat kita, apalagi di circle millenial parents yang umumnya kelas menengah ke atas.

Sebelumnya, let’s make one thing clear ya. Aku nggak menganggap belajar bahasa Inggris sejak kecil itu salah. Juga belum ada riset yang membuktikan bilingualisme sebagai penyebab utama speech delay bagi anak. Dan benar bahwa anak bilingual terbukti punya kemampuan kognitif yang lebih baik daripada anak monolingual.

Aku bukan nggak mau anak-anakku belajar bahasa Inggris, kok. Hanya saja aku dan suami sudah putuskan lebih baik mereka diajarin bahasa Inggris setelah fasih berbahasa Indonesia. Maksudnya sudah bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia ya.

Ini gambaran latar belakang bahasa keluarga kami sekarang:

  • Aku dan suami keduanya hampir selalu ngomong pakai bahasa Indonesia dengan satu sama lain. Bahkan ketika kami tinggal di US saat suami menempuh studi, kami hanya berbahasa Inggris saat berkomunikasi dengan orang yang nggak bisa bahasa Indonesia.
  • Keluarga besarku dan suami juga hanya bisa berbahasa Indonesia atau bahasa daerah. Sedikit sekali yang bisa bahasa Inggris.
  • Meski kami pernah dan akan tinggal sementara di luar negeri untuk urusan studi maupun pekerjaan, tapi aku dan suami punya komitmen untuk kembali dan menetap di Indonesia. Maka anak-anak kami pun akan lebih lama tumbuh dan berkembang di Indonesia, di lingkungan yang lebih banyak pengguna bahasa Indonesianya.

Banyak aku temui anak balita dan usia SD yang sehari-hari sudah lancar pakai bahasa Inggris, bahkan lebih lancar bahasa Inggris daripada Indonesia. Keren ya? Iya, tapi kebayang nggak kalau itu anak kita, dan pas ngumpul-ngumpul dengan keluarga besar, nenek dan kakeknya disapa pakai ‘hey, there‘ dan ‘you‘? Karena dalam bahasa Inggris, semua orang kedua tanpa pandang usia dipanggil ‘kamu’ kan? Syukurnya kakek nenek nggak bisa bahasa Inggris ya, jadi nggak bisa banyak ngobrol dengan cucu.

Yes, by the way, the last statement above is me being sarcastic.

Plot twist: itu beneran terjadi di depan mataku, walau bukan di keluarga.

Ada beberapa hal yang perlu dipahami jika memutuskan untuk menempatkan anak di lingkungan belajar yang mengutamakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia sejak dini.

Yang pertama, anak akan lebih fasih menggunakan bahasa Inggris daripada Indonesia. Menurutku, goal idealnya bukan agar bahasa Inggris jadi bahasa dominan, tapi agar anak mampu berkomunikasi secara efektif menggunakan kedua bahasa, Inggris dan Indonesia.

Kedua, balita itu masa terbentuknya kepribadian dan identitas anak. Bahasa itu bagian integral dari identitas, dan berpengaruh signifikan pada perilaku dan pola pikir. Sadar nggak, saat ngomong bahasa Inggris atau bahasa selain Indonesia, ada perubahan di dirimu? Dari sekedar pitch suara, gaya bahasa, sampai ada yang jadi pribadi berbeda. Maka aku memilih untuk menguatkan akar ke-Indonesiaan dalam anak-anakku hingga mereka secure dengan identitas Indonesia mereka, baru kemudian mau belajar bahasa apapun ya oke. I don’t know about you, but for me this is important.

Ketiga, kita memberi value lebih pada bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. This is how tons of languages died and buried their cultures along with them. Sudah terjadi dengan ratusan bahasa di dunia, dan sedang berlangsung pada bahasa-bahasa daerah kita. Katanya pluralisme membuat kita kaya, lantas kenapa kita justru mengarah ke hegemoni bahasa?

Lah, katanya anak nggak diajarin bahasa Inggris, tapi kenapa dibeliin buku impor?

Benar, aku senang beli buku impor buat anak-anak. Alasan utamanya karena kualitas, walau tetap aku sangat selektif dengan konten bukunya karena sekarang ini banyak sekali buku anak impor yang disisipin konten yang kurang sesuai dengan agama Islam dan bahkan norma yang berterima di Indonesia.

Nah, di sini kita perlu bedain makna ‘language learning‘ dengan ‘language acquisition‘. Aku membacakan cerita dalam bahasa Inggris ke anakku tanpa meminta dia menghapal atau memahami makna setiap katanya. Tujuannya di sini lebih ke memberikan exposure, atau membuat bahasa Inggris familiar di telinganya. Dari sini anak lama-lama akan bisa berbahasa Inggris, walau mungkin belum memahami konsep tata bahasanya. Ini yang dimaksud dengan language acquisition. Dan tau nggak sih, skill yang didapat dari proses acquisition justru nggak akan hilang, karena disetor di long term memory anak.

Lantas apa bedanya dengan belajar bahasa Inggris?

Ya beda dong. Karena dalam diri anak nggak ada ‘kesadaran’ bahwa dia sedang belajar. Selain itu, anak juga nggak diberi kesan bahwa bahasa Inggris itu penting, harus dipahami sejak dini, dsb. Malah anak balitaku yang suka ngomong pakai bahasa Inggris (dengan grammar belepotan hahaha), tapi lebih sering aku respon pake bahasa Indonesia.

Terus gimana dengan anak diplomat atau yang lama tinggal di luar negeri?

Kalau itu jelas beda circumstances-nya kan. Sebelumnya aku udah jelasin situasi dan kondisi kami dan keluarga besar. Jelas berbeda dengan anak-anak yang orang tuanya bekerja di luar negeri dalam waktu yang lama. Lagian kalau lama tinggal di luar negeri (apalagi negara yang berbahasa Inggris), maka anak nggak perlu diajarin juga bakal fasih banget bahasa Inggrisnya.

Kalau anak yang orang tua-nya beda kewargnanegaraan gimana?

Nah, ini yang paling ideal buat anak jadi true bilingual. Kenapa? Karena anak yang orang tuanya masing-masing punya native language yang berbeda punya ‘target culture‘ yang konkrit dari masing-masing orang tuanya. Jadi baiknya masing-masing orang tua konsisten ngomong ke anak pake bahasanya masing-masing, sehingga anaknya fasih kedua bahasa dan nggak menganggap bahasa Ibu ‘lebih ABC’ dari bahasa Ayah.

Masalahnya di kita orang tua milenial yang stay di Indonesia ini, anak dimasukin ke sekolah internasional sejak umur 3-4 tahun, diajak ngomong pake bahasa Inggris di rumah, sementara di lingkungan masyarakat dan mungkin di lingkungan kerja nanti skill berbahasa Indonesia masih sangat dibutuhkan (karena aku masih belum melihat kemungkinan Indonesia bakal jadikan bahasa Inggris bahasa resmi dalam 10-15 tahun ke depan). Emang iya anaknya mau dikirim ke luar negeri semua? Terus yang bangun Indonesia di masa depan siapa?

Tulisan ini kubuat karena kupikir kita butuh perspektif berbeda dalam memandang pendidikan bahasa Inggris sejak dini yang banyak dianut warga bangsa ini (di luar negeri juga sama sih). Yes, English is important, but as a tool to communicate with people who don’t speak the same language, and more importantly to gain information that is not widely available in our own language.

Tujuan belajar bahasa Inggris buat kita orang Indonesia itu ya sejatinya sebagai alat untuk mencapai tujuan, apapun itu tujuan kita. Maka kita nggak perlu memberikan value yang berlebihan ke bahasa Inggris sampai tanpa sadar membuat anak cucu kita memandang bahasa Inggris lebih penting dari bahasa kita sendiri.

Lantas kapan baiknya anak mulai belajar bahasa Inggris? Kalau ketuaan ntar dia bakal struggle untuk dapetin skor IELTS 7.0 kayak orang tuanya dong!

Tunggu sampai anak fasih menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia dulu. Dan nggak perlu khawatir. Aku juga baru belajar bahasa Inggris di usia 10 tahun, dengan modal minim di zaman sebelum mengenal internet. Alhamdulillah, kuliah di luar negeri nggak minder kok ngomong sama bule.

Anak-anak kita insya Allah pasti bakalan jadi English users yang oke. Apalagi di zaman serba digital ini dengan orang tua yang alhamdulillah bisa provide resource apapun yang dibutuhkan anaknya, kan?

Tapi kembali lagi, ini pure opini pribadi. Feel free to disagree 🙂

Uncategorized

Perjalanan IELTS-ku

Buat kamu yang sedang berjuang untuk mencapai cita-cita bersekolah ke luar negeri dengan beasiswa, pastinya IELTS bukan nama yang asing lagi. Tentunya kamu juga tau perjuangan meraih skor IELTS yang dibutuhkan untuk bisa mendaftar beasiswa atau program di kampus tujuan bukanlah jalan yang mudah bagi banyak orang. Bahkan, tak sedikit yang merogoh saku hingga puluhan juta untuk ikut bimbingan persiapan IELTS. Belum lagi yang harus tes berulang kali namun tak juga berhasil memperoleh hasil yang mumpuni. 
 
Ceritaku sedikit berbeda. Di akhir tahun 2014, aku dinyatakan lulus seleksi batch terakhir beasiswa LPDP. Kala itu, pendaftar jalur reguler masih dibolehkan menggunakan skor TOEFL ITP untuk mendaftar program luar negeri. Aku pun tak pikir panjang memutuskan untuk menunda tes IELTS dan mengunggah skor TOEFL terakhirku yang alhamdulillah masih berlaku waktu itu. Di tahap wawancara aku sempat ‘ditegur’ karena berani-beraninya cuma bawa hasil tes TOEFL untuk mendaftar program luar negeri. Namun dengan tenang aku jawab, “Niat saya memang dapat beasiswa dulu, Pak. Kalau lolos baru saya tes IELTS, karena biaya tesnya lumayan mahal.” 
 
Pewawancara yang menanyaiku kelihatan kurang terkesan dengan jawabanku, namun aku tak masukkan ke hati. Beliau mungkin nggak paham situasiku yang waktu itu harus ngajar di tiga tempat berbeda dari Senin sampai Sabtu, berangkat pagi pulang malam, cuma untuk memenuhi kebutuhan hidupku di Medan. Namun aku tetap berusaha meyakinkan. “Kalau saya lolos, Pak, saya janji akan segera tes IELTS,” tambahku. 
 
Sesuai janjiku, begitu dapat kabar aku lulus seleksi, aku langsung cari informasi tes IELTS di Medan. Aku sempat bertanya ke temanku yang waktu itu juga lulus di batch yang sama, dan sudah duluan tes IELTS. Waktu itu, walau tak lagi asing dengan tes TOEFL (aku sudah beberapa kali tes TOEFL ITP dan pernah sekali tes TOEFL iBT), aku sama sekali buta mengenai IELTS. Aku cuma tau kalau IELTS itu tes mirip TOEFL versi British. Dari temanku, aku paham garis besar komponen tes IELTS dan memutuskan untuk mencari materi belajar sebelum mengikuti tes. Itu awal Januari 2015, dan aku mendaftar untuk tes di akhir bulan itu juga. 
 
Ketika orang lain mempersiapkan diri minimal 3 bulan sebelum mendaftar tes yang ofisial, aku tak punya pilihan selain mendaftar sesegera mungkin. Targetku mulai studi S2 September 2015, dan kuputuskan paling lambat April aku harus sudah dapat LOA. Berhubung kampus tujuanku termasuk yang lumayan lama memproses berkas pendaftar, aku harus sudah mengirim semua berkasku di bulan Februari. Maka aku cuma punya waktu kurang dari sebulan untuk persiapan tes IELTS. 
 
Waktu itu, opsi untuk mengikuti bimbingan persiapan IELTS sama sekali tak terbesit di pikiranku. Singkatnya, aku nggak punya cukup biaya untuk bayar guru. Untuk mendaftar tesnya saja aku harus minta bantuan orang tua, karena gajiku sebagai guru di Medan cuma cukup untuk bayar sewa kos-kosan dan kebutuhan dasar. Pilihanku cuma satu: belajar sendiri. Namun aku harus tau diri dan menerima fakta kalau aku juga nggak punya cukup waktu dan energi untuk belajar maksimal. Aku yang setiap hari berangkat ngajar jam 7.00 pagi dan pulang jam 10 malam cuma punya waktu senggang setiap hari Minggu. Namun aku tetap sisihkan sedikit waktu di sela-sela kelas untuk latihan menjawab soal Reading atau Listening. Aku cuma fokus ke dua skill itu, lagi-lagi karena waktu belajar yang minim dan dua skill itu yang bagiku lebih mudah untuk ditingkatkan dalam waktu seadanya. Untuk Writing, aku cuma pelajari garis besar instruksi dan jenis task-nya, bahkan tak sempat latihan menulis. Speaking aku sama sekali tak terpikir untuk belajar lagi. 
 
Targetku realistis: dapat skor cukup untuk daftar ke kampus tujuan. Doaku selama persiapan tes cuma semoga aku nggak perlu tes ulang. Aku cukup optimis waktu itu. Bukannya mau sombong, namun sebagai guru bahasa Inggris yang juga pernah setengah tahun tinggal di US, aku merasa justru malu kalau hasil tesku jelek. Walau aku tau nggak sedikit orang yang sudah bolak balik ke luar negeri tapi harus kursus lagi sebelum tes IELTS. Di hari tes, alhamdulillah semua berjalan lancar, kecuali tes Speaking yang bisa dibilang ‘berakhir mendadak’. Tapi aku tak mau ambil pusing. Sudah kulakukan yang bisa kulakukan, pikirku, sekarang waktunya fokus ke depan. 
 
Empat belas hari kemudian hasil tesku keluar. Alhamdulillah, doaku dikabulkan, aku nggak perlu tes ulang. Untuk bisa mendaftar ke program studi tujuanku, aku butuh skor overall 7.0 dengan skor Writing minimal 6.5. Skor IELTS-ku overall 7.5 dengan skor Writing yang sama. Aku cukup puas dengan skor Listening-ku (8.5), dan bersyukur menerima skor Reading dan Speaking-ku (keduanya 7.0), berhubung aku suka ‘zone out’ kalau membaca teks yang boring (and trust me, IELTS passages are the epitome of boring) dan mengingat aku bahkan tak mempersiapkan diri untuk Speaking. 
 
Bulan-bulan berikutnya aku disibukkan dengan persiapan pendaftaran kampus, PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, dan persiapan mengurus Visa ke UK. Pengalaman IELTS-ku tak lagi kupikirkan, hingga suatu hari beberapa bulan setelah aku mulai studi di Edinburgh, seorang teman yang punya kursus bahasa Inggris memintaku mengajar IELTS ‘jarak jauh’. Berhubung perkuliahanku tak terlalu padat, aku punya cukup banyak waktu luang, maka permintaan temanku langsung kuiyakan. Sebelum mulai mengajar aku pun mencari informasi dan materi yang kubutuhkan untuk mengajar IELTS. Di situlah aku baru sadar, andai saja aku punya waktu lebih untuk mempersiapkan diri sebelum aku tes dulu, maka bukan tak mungkin skor yang kudapat jauh lebih tinggi. 
 
Masih ingat tes Speaking-ku yang berakhir mendadak? Tes Speaking IELTS terdiri dari tiga bagian, dan di bagian ketiga kamu diminta menjawab sekitar 3–5 pertanyaan secara ‘panjang lebar’, lengkap dengan argumen dan support. Tapi aku yang waktu itu bahkan tak sempat mengecek format tes Speaking sama sekali nggak tau mengenai ini. Di awal, tes Speaking-ku berjalan lancar, aku dengan mudah bisa menjawab pertanyaan santai si pewawancara. Bahkan bagian kedua aku nggak terlalu kesulitan. Tapi bagian akhir tes, ketika si pewawancara menanyakan pendapatku, aku cuma menjawab dengan satu kalimat singkat. Barulah aku sadar kenapa raut muka beliau seolah berkata ‘tell me more’ ketika aku cuma menatapnya balik sambil mikir ‘what else do you want?’ Karena itulah si pewawancara langsung mengakhiri tesnya. Mungkin nggak berlebihan kalau aku beranggapan skor IELTS-ku waktu itu bisa di atas 8.0 kalau saja aku sempat latihan Speaking. Atau paling tidak, kalau aku paham aku harus ngapain aja di setiap bagian tesnya. 
 
Tapi aku nggak mau terlalu berlarut-larut memikirkan itu. Toh targetku sudah tercapai, aku sudah diterima di kampus tujuanku dan mulai perkuliahan. Namun pengalaman itu mengajarkanku sesuatu. Dalam mempersiapkan diri untuk tes IELTS, dua hal ini adalah game changer yang sangat signifikan: latihan dan bimbingan. 
 
Sebagai guru bahasa Inggris, aku paham betul tantangan yang dihadapi anak-anak Indonesia dalam belajar. Nggak sedikit juga orang dengan siatuasi yang sama denganku waktu itu: singkatnya, kemampuan finansial pas-pasan. Dan IELTS itu mahal, saudaraku. IELTS itu bukan sekedar tes profisiensi bahasa Inggris internasional, tapi juga bisnis multibillion dollar. Didesain sedemikian rupa agar bisa mengetes kemampuan orang dimanapun dan kapanpun dengan valitidas dan akurasi, tes ini diikuti jutaan orang di dunia setiap bulan. Cuma agar bisa mendaftar ke negara atau kampus impian. Bimbingan persiapan IELTS bisa dibilang level paling tinggi dari bisnis kursus bahasa Inggris (mungkin cuma selevel di bawah bimbingan menulis jurnal internasional). Untuk mendaftar program intensifnya, nggak jarang kamu harus bayar belasan atau bahkan puluhan juta untuk bimbingan 50 jam saja. Nuraniku sebagai guru miskin dari Medan merasa miris menyadari ini. 
 
Disitu aku berniat dalam hati, kalau aku mengajar IELTS, maka aku nggak mau sekedar mengajar untuk cari uang. Aku ingin peserta kelasku belajar dengan ‘mata terbuka’. Bahwa benar IELTS itu sulit, tapi tak sesulit yang kamu kira. Benar IELTS itu penting, tapi cuma untuk sekedar membuka pintu saja. Aku ingin mereka merasa yakin dengan biaya minimal namun bimbingan yang mumpuni, mereka bisa mencapai targetnya. Walau tentu harus dibarengi dengan kerja keras dan konsistensi. 
 
Sekarang, hampir lima tahun kemudian, aku sudah mengajar IELTS di berbagai mode. Sebagai guru di bimbingan bahasa Inggris iya, mengajar privat juga iya. Aku pernah diajak kerja sama dengan sistem bagi hasil, sambil membangun brand sendiri juga pelan-pelan aku cicil. Dari yang awalnya di-hire sebagai guru, hingga aku yang meng-hire guru. Sebagian muridku berhasil mencapai targetnya, tapi tak sedikit juga yang masih terus berjuang. Aku juga sebagai guru terus belajar, mencoba hal baru agar bisa lebih efektif membantu. Karena meski mungkin kamu cuma bayar aku untuk sekedar belajar IELTS, tapi aku ingin ngasih pembelajaran lebih dari itu.