scholarship · Scholarship

Refleksi Satu Dekade: tentang Global UGRAD (pt. 1/2)

Sudah satu dekade berlalu sejak aku lolos seleksi Global Undergraduate Exchange Program atau yang biasa disingkat Global UGRAD. Kalau kulihat ke belakang, sepuluh tahun ini telah banyak yang kulalui. Diantaranya ada pencapaian-pencapaian yang kurasa berkat pengalaman mengikuti program pertukaran ini, menjadi lebih mudah kugapai.

Kalau para alumni Global UGRAD ditanya kesan mereka tentang program, maka hampir semua akan menjawab senada, “Global UGRAD is a life changing experience,” dan aku juga serupa. Global UGRAD adalah program beasiswa luar negeri pertama yang aku dapatkan, dan merupakan starting point perjalananku, seorang anak perempuan dari keluarga sederhana asal kota kecil di utara pulau Sumatra.

Selama satu dekade, aku hampir tak pernah menulis tentang pengalamanku mengikuti program ini. Tak hanya Global UGRAD, sampai sekarang juga tak ada tulisan tentang pengalamanku mendapat beasiswa lain pasca pulang dari Amerika. Aku punya tendensi berpikir ‘sudah banyak orang lain yang menuliskan pengalaman yang sama. Apalah ceritaku dibanding mereka?” Padahal tak sedikit yang memintaku untuk menulis, untuk berbagi inspirasi, kata mereka. Tapi aku tetap enggan, entah kenapa.

Namun semakin ke sini aku sadar, tak ada salahnya jika kisahku kutuliskan. Malah mungkin dengan kutulis kisah perjalananku dan mengingat kembali momen-momen kala itu, dapat menambah semangat ketika aku merasa lelah. Dan jika dengan menulis aku bisa menginspirasi orang yang membaca, maka alhamdulillah, itu kuanggap bonusnya.

Kali ini, di momen satu dekade pasca lolos seleksi, aku akan berbagi kisahku mulai dari persiapan mengikuti seleksi Global UGRAD, hingga aku berangkat ke kampus dimana aku ditempatkan, yaitu State University of New York-Plattsburgh, di utara negara bagian New York.

Tentang GLOBAL UGRAD

Global Undergraduate Exchange Program atau Global UGRAD adalah salah satu program beasiswa non-degree yang disponsori oleh Bureau of Educational and Cultural Affairs of the United States Department of State, atau departemen pendidikan dan kebudayaan Amerika. Program ini adalah satu-satunya beasiswa Fulbright yang target pesertanya mahasiswa undergraduate (S1). Program Global UGRAD ditujukan bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan setidaknya satu semester, dan sepulang program masih harus mengikuti perkuliahan minimal satu semester sebelum lulus. Kandidat ideal untuk program ini adalah mahasiswa dari underrepresented background (latar belakang bangsa, sosial, budaya, dsb., yang kurang terwakilkan), yang belum pernah pergi ke atau belajar di Amerika.

Di program Global UGRAD, kamu dibiayai untuk belajar di salah satu kampus Amerika selama satu semester, dimana kamu akan mengikuti perkuliahan layaknya mahasiswa internasional lainnya. Selain itu, ada kewajiban melakukan kegiatan community service minimal 20 jam, yang sebenarnya adalah kesempatan berharga buat kamu belajar dan bersosialisasi di luar kampus. Selama program, kamu akan memiliki advisor dari World Learning, lembaga pengelola program Global UGRAD di Amerika, yang membantumu secara virtual. Lalu, sebelum penghujung program, akan ada re-entry workshop dimana kamu akan bertemu dengan para peserta lain dari berbagai negara.

Kenapa mendaftar Global UGRAD?

Jika kamu mengikuti seleksi program Global UGRAD dan sampai di tahap wawancara, maka pertanyaan wajib yang pasti kamu dapat adalah ‘kenapa kamu ingin mengikuti Global UGRAD/belajar di Amerika?’. Meskipun pertanyaan ini sederhana, tapi jawaban kamu bisa menjadi penentu bagi pewawancara untuk mempertimbangkanmu sebagai calon peserta. Tentu sebenarnya banyak alasan menarik bagi mahasiswa Indonesia untuk mengikuti program ini. Pertama, beasiswa ini fully-funded, meng-cover semua biaya mulai kamu berangkat hingga kembali ke kampung halaman. Kedua, kamu bisa tinggal di Amerika selama 5–6 bulan sambil kuliah dan mendapat pengalaman lainnya. Ketiga, kamu akan mendapat teman dari mancanegara. Keempat, kamu bisa bergabung di komunitas alumni exchange Amerika. Tentu saja, dengan mengikuti program ini kamu pasti membuat orang tua dan keluargamu bangga, dan alasan-alasan lainnya. Namun yang menjadi PR adalah, bagaimana kamu menyampaikan alasanmu sedemikian rupa hingga pewawancara yakin kamu layak dipilih dari kandidat-kandidat lainnya. Tentu harus ada alasan yang spesifik dan relevan bagi dirimu sendiri, sesuatu yang kamu cari yang kamu percaya akan ditemukan dengan mengikuti program ini.

Kilas balik sedikit, aku sendiri sudah ingin mendaftar program Global UGRAD sejak semester satu. Waktu itu aku membaca poster besar beasiswa Fulbright yang ditempel di papan pengumuman fakultasku. Ketika mataku sampai ke tulisan Global Undegraduate Exchange Program dan kubaca keterangannya, seolah ada sesuatu yang terbangun dalam dadaku (sedikit lebay, tapi memang benar). Aku ingat waktu itu langsung aku mencari informasi lebih lanjut dengan membuka website AMINEF, membaca detail persyaratannya, dan men-download formulirnya. Padahal, aku yang masih di semester satu belum eligible untuk mendaftar, aku tau. Tapi itu tak menyurutkan semangatku, aku justru tak sabar untuk segera naik ke semester tiga.

Meski belum bisa mendaftar, aku tetap mengisi formulir yang sudah kuunduh (waktu itu kamu masih harus mengirim hardcopy semua dokumen via pos). Aku membuat beberapa copy, dan semua kuisi dengan teliti. Lalu formulirnya kusimpan diantara tumpukan buku-buku perkuliahan, sesekali kubuka dan kubaca untuk menjadi penyemangat. Sayangnya, di semester ketiga perkuliahan sangat padat dan aku tak yakin bisa maksimal mempersiapkan persyaratan mendaftar Global UGRAD. Dengan berat hati kuputuskan menunda pendaftaran dan memprioritaskan perkuliahan. Namun, seperti sebelumnya, aku tetap men-download dan mengisi formulir pendaftarannya. Kuletakkan di atas formulir tahun sebelumnya, kali ini sebagai pengingat, tahun depan aku tak bisa menunda lagi.

Lalu, jika ditanya apa motivasiku mendaftar program Global UGRAD, sebenarnya sederhana saja: curiosity dan keinginan men-challenge diri sendiri. Aku ingin tau bagaimana rasanya tinggal dan kuliah di Amerika, dan apa bedanya dengan Indonesia. Kenapa berbeda? Apa penyebabnya? Aku ingin tau semuanya. Di samping itu, waktu itu aku mulai haus tantangan, karena merasa perkuliahanku membosankan. Aku bosan dengan rutinitasku kuliah ‘kupu-kupu’ (kuliah-pulang-kuliah-pulang) karena entah kenapa aku memutuskan tak mengikuti organisasi mahasiswa di kampus (mungkin karena kesan pertama yang tak mengenakkan, tapi ini cerita untuk lain waktu). Maka dengan mendaftar program Global UGRAD aku ingin men-challenge diri sendiri, ingin mengetes apa aku bisa lolos semua tahap seleksi, dan jika terpilih, apa aku bisa survive mengikuti program ini. Bisa dibilang aku waktu itu masih mencari jati diri, dan merasa mengikuti program Global UGRAD bisa membawaku lebih dekat dengan sosok pribadi Amal yang kuingini.

Proses seleksi

a. seleksi berkas dan wawancara

Di semester lima, akhirnya aku siap untuk mendaftar. Sebelumnya, aku sempat konsultasi dengan salah satu dosen di jurusanku, dan ternyata beliau me-referku ke Teaching Fellow dari Amerika yang saat itu ditempatkan di fakultasku. Sebenarnya aku sengaja tidak meminta bantuan dari beliau karena a) kelasku waktu itu tidak diajarnya dan b) aku malas dikira PDKT dengan dosen bule. Tapi suatu hari, ketika aku dan teman-teman sekelasku selesai mata kuliah terakhir (waktu itu sudah jam 6 sore), dua figur menantiku di koridor fakultas, pak dosenku dan Mr. Teaching Fellow. Ternyata aku diminta menjumpai beliau di kantornya keesokan harinya.

Meski awalnya aku berniat menyiapkan semua berkas pendaftaran sendiri, dan hanya meminta bantuan dosen berupa surat rekomendasi, tapi aku bersyukur direkomendasikan oleh dosenku ke Mr. Teaching Fellow. Tak hanya mengecek formulir yang telah kuisi, beliau juga mem-proofread esaiku, meminta untuk menjadi salah satu referee yang menulis surat rekomendasi untukku (Benar, kamu nggak salah baca. Bukannya aku, malah dia yang meminta jadi referee), dan bahkan meng-arrange latihan wawancara untukku dengan dosen lainnya setelah aku dinyatakan lolos seleksi tahap awal. Ketika aku sampaikan ucapan terima kasih padanya setelah dinyatakan lulus, dia malah berkata, “I didn’t really do anything. It’s all you, Amal.” Tapi tetap saja, aku tak akan pernah lupa jasa-jasa beliau.

Pengumuman seleksi wawancara waktu itu masih dilakukan via telpon. Aku yang sedang main-main di Istana Maimun dengan temanku tiba-tiba dihubungi oleh AMINEF, dikabarkan bahwa aku lolos seleksi tahap pertama dan diundang ke Jakarta untuk wawancara. Wawancaranya di kantor AMINEF yang lama (waktu itu masih di Gedung Balai Pustaka), dan aku giliran pertama. Aku sudah tiba sekitar satu jam sebelum wawancara dimulai, dan sempat bertemu beberapa kandidat yang di antaranya menjadi teman satu batch-ku.

Wawancaranya waktu itu di salah satu ruangan yang tidak terlalu besar, di tengahnya ada meja bundar dengan lima kursi yang empat sudah diduduki oleh pewawancara (2 orang Amerika dan 2 orang Indonesia). Aku ingat salah satu pewawancaranya adalah Rektor Universitas Bina Nusantara. Aku di dalam selama kurang lebih satu jam, mereka bertanya seputar informasi yang kutuliskan di formulir dan esaiku. Ada beberapa pertanyaan unik yang masih kuingat. Salah satunya alasan aku bisa bahasa India (kujawab karena sejak kecil biasa nonton film India dengan ibuku, dan suatu hari ketika nonton aku tiba-tiba bilang ke ibu, “Mak, itu subtitle-nya salah”, dan barulah aku sadar aku paham bahasanya).

Aku juga ditanya apa yang paling kutakutkan tentang tinggal di Amerika. Waktu itu dengan polosnya aku menjawab, “I’m not really afraid, but something I’m worried about is I don’t know how to get halal food there.” Mendengar jawabanku, para pewawancara sontak tertawa. Terang saja, bukannya masalah jauh dari keluarga atau bahkan islamofobia, yang kukhawatirkan justru urusan makan. Tapi kupikir jawabanku yang polos dan lugas itu malah menjadi selling point bagi mereka, karena dari situ mereka bisa menilai bahwa aku pribadi yang berani dan sangat sederhana. Dan ketika aku menutup pintu ruangan selesai wawancara, aku terbatin ‘ah, sepertinya aku lulus.’ Dan prediksiku benar, walau aku tak berani cerita ke siapa-siapa (ini juga terjadi dengan dua seleksi program beasiswa yang kuikuti pasca Global UGRAD. But again, itu cerita untuk lain waktu ya.)

b. TOEFL iBT dan seleksi tahap akhir

Di akhir tahun 2010, sekitar dua minggu setelah wawancara, aku kembali dihubungi AMINEF bahwa aku lolos tahap wawancara, dan selanjutnya adalah test TOEFL berbasis internet atau iBT. Untungnya, di Medan ada test center TOEFL iBT jadi aku tak perlu terbang ke Jakarta lagi. Aku dijadwalkan tes di bulan Januari. Di tahun 2010/2011 masih sulit sekali mendapatkan materi TOEFL iBT dari internet. Aku sungguh beruntung karena kali ini, Mr. Teaching Fellow juga meminjamkanku guide book TOEFL iBT lengkap dengan CD yang bisa diinstal ke laptopku. Waktu yang tersisa sebelum tes kuhabiskan dengan memfamiliarkan diriku dengan format tesnya. Sekitar dua minggu setelah tes, aku mengecek hasilnya dan, alhamdulillah, skorku cukup untuk apply ke universitas.

Setelah mendapat skor TOEFL iBT, aku diminta melengkapi beberapa berkas tambahan, seperti terjemahan ijazah SMA dan rekomendasi dari guru SMA, untuk dikirim ke US Department of State yang berwewenang menentukan kandidat yang akan diberangkatkan. Tapi lucunya, aku lebih dulu menerima email berisi Letter of Acceptance dari SUNY Plattsburgh sebelum mendapat kabar dari AMINEF bahwa aku lulus tahap akhir seleksi. Beberapa hari kemudian baru lah aku mendapat email dari AMINEF yang menyatakan aku terpilih menjadi salah satu delegasi Indonesia untuk program Global UGRAD tahun 2011/2012.

Pre-Departure Orientation dan persiapan keberangkatan

Image for post

Sekitar bulan Mei 2011, aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Pre-Departure Orientation (PDO). Kegiatan ini diadakan AMINEF untuk memberikan orientasi sebelum keberangkatan bagi semua penerima beasiswa Fulbright. Jadi pesertanya bukan hanya delegasi Global UGRAD, tetapi juga penerima program beasiswa Fulbright lainnya. Di PDO baru lah terasa nyata bahwa aku sudah selesai melalui semua proses seleksi dan benar-benar akan berangkat ke Amerika untuk studi. Di sini aku juga akhirnya bertemu dengan rekan-rekan satu angkatanku delegasi Global UGRAD tahun ajaran 2011/2012.

Namun, meski merasa senang, aku mengikuti PDO dengan hati resah. Beberapa minggu sebelum berangkat, sebagai salah satu persyaratan dari universitas aku melakukan medical check up. Saat mendapat hasilnya, aku diberitahu dokter ternyata ada flek di paru-paru kiriku. Katanya, jika dibiarkan, kondisiku bisa memburuk dan menjadi TB akut. Tak hanya gagal mendapat keterangan sehat dari rumah sakit, aku juga harus menjalani pengobatan selama enam bulan dan check up rutin sebulan sekali sampai hasil rontgen dadaku bersih dan aku dinyatakan bebas TB.

Aku yang di awal sedih dan merasa hampir putus asa karena usahaku berbulan-bulan (bertahun-tahun bahkan, kalau dihitung sejak semester satu) terancam sia-sia, memberanikan diri untuk konsultasi dengan pihak AMINEF mengenai situasiku saat itu. Tapi syukur lah, karena aku dijadwalkan berangkat ke SUNY Plattsburgh pada awal Spring Semester (Januari 2012), aku masih ada waktu menjalani pengobatan di Indonesia tanpa harus menunda keberangkatan atau bahkan mundur dari program. Di bulan Oktober 2011, akhirnya aku mendapat all clear dari dokterku dan bisa mengirimkan hasil medical check up terbaru ke AMINEF. Bulan November aku ke Jakarta lagi untuk mengurus Visa di Keduataan Amerika.

Pada 22 Januari 2012, aku pun akhirnya meninggalkan Indonesia untuk pertama kalinya. Aku berangkat hanya membawa uang satu juta rupiah yang waktu itu ditukar ke US Dollar hanya bernilai sekitar 100-an. Uang ini kemudian kupakai membeli oleh-oleh untuk kelurga dan teman-temanku, sedang semua kebutuhanku selama di sana kucukupi dengan stipend $350/bulan dari World Learning.

Demikian lah kisahku mendapatkan beasiswa Global UGRAD. Anak perempuan pemilik warung nasi dari kota kecil di Sumatra Utara, berangkat studi ke Amerika dengan beasiswa. Siapa yang menyangka hal ini mungkin? Bermimpi pun kala itu keluargaku tak berani. Pengalaman ini mengajarkan padaku, bahwa usaha yang dibarengi izin Tuhan itu lah yang menciptakan keajaiban.

Sekian dulu untuk bagian pertama tentang Global UGRAD. Di bagian kedua, aku akan menceritakan pengalamanku selama mengikuti program hingga pulang ke kampung halaman.

Untuk info lengkap mengenai Global UGRAD, bisa cek di website AMINEF.

4 thoughts on “Refleksi Satu Dekade: tentang Global UGRAD (pt. 1/2)

  1. Keren, sangat menginspirasi kak. saya sekarang semester 4 dan sejak smp ingin bisa exchange ke luar negeri. sudah sering buat list beasiswa, exhange dst. Tapi selama ini belum kesampaian sepertinya karena saya banyak menunda nunda dan banyak alasan. Semoga bisa jadi seperti kakak

    Like

Leave a comment